Realisme,
Keaktoran, dan Stanislavsky
Stanislavsky
adalah seniman sejati. Dia meleburkan sekaligus menggeneralisir diri dengan
utuh, hingga akhirnya dia menjelajahi sendiri kisi-kisi kehidupannya sampai ke
tingkat paling mendetail. Penonton tak lagi membutuhkan penjelasan lanjutan
atas apa yang dia tampilkan. Menurut pendapat saya, begitulah teater
seharusnya. (Lenin,1918)
Siang malam saya bergelut dengan kalimat di atas. Seminggu lamanya saya mencoba mencari tahu; arah mana yang dituju pola keaktoran Stanislavsky. Sesuatu yang ia perjuangkan seumur hidup. Sebelumnya, saya dan mungkin banyak pecinta teater, terjebak dalam pemahaman paling umum tentang Stanislavsky. Bahwa, patron-patron permainan yang dia tawarkan adalah produk klasik, meskipun kemudian dia pulalah yang diakui sebagai founding father keaktoran teater Realis (simbol kebangkitan era modern dalam dunia teater, pasca runtuhnya era barok dan romantisme). Dari beberapa essai yang pernah ditulis oleh para penerus Stnislavsky di Rusia, akhirnya saya bisa menarik beberapa kesimpulan baru.
Teori-teori
Stanislavsky banyak lahir dari pertimbangan pilihan; “ teater realis” atau
“teater dengan konvensi”, bermain “realistis” atau bermain “formalistis”. Hal
ini mebentur pikirannya karena pada saat itu, pemerintahan Stalin menjadikan
teater sebagai alat propaganda maksud-maksud positif dari ajaran sosialis. Dan
Stanislavsky, karena kepakarannya, dipaksa untuk membuat format pusat yang
kelak akan jadi acuan penyeragaman pola teater se-Soviet. Tak dapat disangkal,
dengan sendirinya menjadilah tawaran realis itu sebagai konsep yang seolah-olah
kaku. Bila kemudian Stanislavsky mencetuskan teori dari praktek-praktek
teaternya, apalagi ketika dikaitkan dengan aliran realisme, maka itulah ‘hukum’
yang sebenarnya tidak diikhlaskannya.
Maksud
saya, bagaimana seorang Stanislavsky akan menerjemahkan realisme ditengah
tekanan struktur oleh penguasanya. Sebuah realisme yang beranjak dari pemberontakan
terhadap patron aristokrat. Realisme yang hampir menyentuh kemerdekaan panggung
dan kefulgaran esensi pemeranan itu. Ibaratnya, lepas dari mulut buaya masuk ke
mulut singa.
Hingga
1917 Rusia dikuasai oleh pola otokratis yang menekan kehidupan petani dan
buruh, Tzaris. Selama masa ini, Stanislavsky dan banyak seniman Soviet mendapat
tekanan karena kesenian, utamanya teater dilarang untuk menyentuh wilayah
politik dan kepentingan pengaruh massa yang diusungya. Akhirnya, para seniman
ini melakukan gerakan bawah tanah. Stanislavksy sendiri melarang Meyerhold
(salah satu aktor asuhannya) untuk mengangkat gerakan teater eksperimennya ke
panggung publik. Meyerhold yang berdarah Jerman, memiliki kepribadian yang
keras dan cenderung memberontak. Kearifan Stanilavsky-lah yang kemudian
membuatnya tersadar akan konsekwensi berat di balik tindakan yang gegabah dalam
memperjuangkan kesenian di Soviet.
Masa
pasca perang sipil (1917–1921) adalah titik pergolakan terpenting dalam proses
kreatif Stanislavsky. Bolsheviks merestrukturisasi seluruh komponen
kemasyarakatan, berikut kesenian di dalamnya. Stanislavksy beroleh kesempatan
yang luas. Dia mulai membuka-buka kembali pola-pola keaktoran realis dengan
meningkatkan asumsinya atas pandangan kemanusiaan Vissarion Belinsky. Uniknya,
di sini keaktoran justru lahir di atas penelaahan terhadap puisi. Seperti yang
pernah dikatakan Benedetti, “Di
dalam filosofi Belinsky, Stanislavksy menemukan kebijakan moral bagi prosesnya
sendiri. Ide dan pertunjukannya, yang mengemban tanggung jawab sosial dan
dipenuhi standar etika, cukup bertentangan dengan pandangan keluarga besarnya.
Kemanusiaan dan kebebasan adalah landasan yang membuatnya berbeda.”
Antara
1921 hingga 1928 (di masa Lenin) Stanislavsky mendapat ruang yang lebih luas,
sekaligus menjebak. Di tengah gebyar kebijakan semi-kapital bagi perekonomian,
pihak ortodok secara berangsung-angsur justru berusaha menguasai beberapa lini
kemasyarakatan, termasuk teater. Padahal Stanislavsky tengah mengusung
teori-teorinya bersama Moscow Art Theater yang ia dirikan bersama Nemirovich.
Di antara hal yang berusaha dibangun Stanislavksy dalam pola keaktorannya masa
itu adalah persoalan intelegensi.
Selanjutnya,
ketika Stalin berkuasa, Stanislavksy mendapat ujian paling berat. Stalin membutuhkan
perangkat kekuasaan untuk menjalankan propagandanya. Perangkat yang dimaksud
adalah hal-hal yang berpengaruh ditengah masyarakat. Tentu saja arahan pertama,
terutama dialamatkan pada teater. Stanislavsky sukar untuk mengelak. Ia merasa
punya tanggung jawab penuh untuk mempertahankan avant garde yang telah ia pertaruhkan selama ini.
Boleh
dibayangkan bahwa para aktor teater pada masa itu, seperti yang dikehendaki
Stalin, akan berubah menjadi juru kampanye. Pementasan adalah iklan layanan
masyarakat berisi jargon-jargon imperium Moskow. Barangkali hal inilah yang
menyebabkan semakin merosotnya kuantitas pementasan realis yang ditawarkan
Stanislavsky. Dia justru tertarik dengan pola-pola simbolis (kembali seperti di
masa 1905). Untuk sementara ada yang berpendapat, hal ini demi menyelamatkan
karakter permainan aktor-aktornya yang cemerlang. Namun sebagian pihak
mengatakan bahwa, Stanislavsky memang berencana untuk buru-buru menyelesaikan
Realis dan menghukum temuan-temuannya sendiri. Stanislavsky meminta Meyerhold
kembali pada bentuk-bentuk eksperimen, sehingga kelak pola keaktoran realisnya
akan semakin berkembang.
Namun
tidak bisa dipungkiri apa yang diproklamirkan oleh serikat penulis soviet ,
pada tahun 1934, sebagai “Social Realism”, sesungguhnya adalah pengakuan yang
pahit terhadap pengaruh pemerintah pada gerakan kesenian. Bunyinya: Realisme
sosialis, menjadi metode dasar bagi kesusastraan dan kritisisme, bersumber dari
kesadaran dan kejujuran seorang seniman, secara historis menjadi representasi
yang kongkrit dari realita dalam perkembangan revolusinya. Lebih lanjut lagi,
kebenaran dan kompleksitas representasi artistik harus dikombinasikan dengan
kehendak transformasi ideologis dan pendidikan bagi setiap orang yang bekerja
dalam semangat sosialsme.
Realisme
sosialis kukuh sebagai sistem inti hingga akhirnya muncul gerakan
post-Stalinist pada tahun 1950. pada prakteknya, fakta ini juga menjadi
landasan bagi terbangunnya tirani komunisme. Memberi pengaruh hingga ke tatanan
politik. Ia juga menjadi candu yang senantiasa berbau kontemporer.
Sementara
Stanislavsky berusaha tumbuh di bawah kompleksitas pengaruh seni dan budaya
Rusia dari akhir abad 20. Dimana pengaruh ini juga menyusup ke dalam pola
perbaikan selera teater dalam masyarakat. Pendidikan yang dibangunnya untuk
para konsumen panggung. Secara tidak langsung beban ini diembankan pula kepada
para aktor yang menjalani proses demi proses bersama sang sokoguru. Beberapa
aktor, seperti Meyerhold, mencoba untuk mengembalikan spirit perubahan dan kebebasan
di dalam realisme. Bahwa permainan adalah tindakan sadar tanpa intervensi yang
akan menghambat pesan otonom di dalamnya. Tidak ada intimidasi terhadap
keaktoran! Namun kemudian, Meyerhold malah dicap sebagai musuh masyarakat. Dia
dieksekusi.
Apa
yang dialami Meyerhold tersebut, menjadi pelajaran penting bagi aktor-aktor
lain. Mereka kembali menunduk di bawah telapak kekuasaan Stalin. Namun untuk
mengatasi kebekuan, Stanislavsky memberi peluang diskusi dan pencarian metode.
Pada ruang-ruang tertentu malah terjadi komunikasi dua arah yang lebih lancar.
Agaknya, inilah momen terpenting yang selalu ditunggu Stanislavsky. Ia sadar
betul bahwa permainan terbaik seorang aktor akan ditampilkan oleh penjiwaan
yang baik.
Konsep
penjiwaan ini merupakan simpanan laten yang kemudian membuat Stanilavsky
dibicarakan dramawan dunia. Paham materis
Beratnya
pilihan Stanislavsky saat itu mengingatkan kita pada bagaimana susahnya Arifin
C Noer ketika dipaksa untuk membuat film agitasi dan propaganda Orde Baru, G-30
S PKI. Ia mendapat tekanan yang serius dari luar dan dari dalam. Apalagi
setelah pemikiran-pemikiran keaktorannya sempat menjadi isu penting dalam
agenda kebudayaan, baik di media masa maupun ajang diskusi.
Sudah
barang tentu, kondisi masyarakat menjadi bahan pelajaran penting bagi proses
seorang aktor. Stanislavsky sebagai aktor sekaligus sosok guru yang memberi
pengaruh kuat mencoba menempatkan dirinya pada posisi paling fleksibel. Namun
tetap saja banyak tudingan yang diarahkan kepadanya. Masyarakat yang kritis
melihat kendornya daya juang Stanislavsky dalam beberapa garapan. Dia
perlahan-lahan terjebak dalam harapan-harapan yang semua muncul bagi lahirnya
karakter teater Soviet. Stanislavsky terpaksa berjibaku melalui jawaban-jawaban
panggungnya. Dan setiap pementasan memberinya pelajaran yang baru. Bahkan
kemudian penelaahannya lebih terarah pada hal-hal berbau humanist. Bagaimana
manusia bagi manusia. Kejujuran yang dibungkusnya dalam istilah ‘kewajaran
panggung’ memberi sumbangsih bagi banyak metode yang berkembang pada masa itu. Bagaimanapun,
sebagai orang Rusia ia memiliki nasionalisme yang tetap dipertahankannya. Ia
berharap agar suatu saat bangsanya menjadi besar di percaturan pengaruh budaya
dunia. Dan itu terbukti saat ini. Tadashi Suzuki, seorang dramawan Jepang
mutakhir, mengibaratkan Stanislavsky sebagai kaisar yang meminjam baju
rakyatnya. Dia menghindarkan dirinya dari bias hegemoni akibat kepeloporannya
sendiri. Toh pada akhirnya, kita juga bisa mengamini kuatnya pengaruh keaktoran
realis ala Stanislavsky di negara kita ini.
Tapi,
sebelum terburu-buru menutup, secara objektif mungkin kita bisa belajar dari
surat yang ditulis oleh Meyerhold kepada istrinya pada tahun 1901, selama
keterlibatannya sebagai aktor dalam proses penggarapan Hedda Gabler, yang
disutradarai langsung oleh Stanislavsky. Meyerhold menulis : apakah kami sebagai aktor harus
pasrah untuk berakting? Pastinya kami harus berpikir dengan baik. Kami harus
tahu kenapa kami bermain, apa yang kami mainkan, dan siapa yang kami serang
dalam permainan kami. Dan untuk itu kami harus tahu sisi psikologis permainan
kami secara signifikan. Untuk memastikan apakah karakter itu positif atau
negatif. Untuk memahami masayarakat, atau bagian mana dari masyarakat yang
ingin di lawan oleh penulis naskah kami